Sudah menjadi sebuah kebiasaan bagi sebuah kampus seni untuk menyajikan konser-konser musik sebagai ajang pembelajaran bagi mahasiswa. Konser musik ini seringkali menyajikan repertoar dari berbagai periode musik yang dimainkan oleh berbagai instrumen dalam format kecil maupun besar. Hal yang sama dilakukan di lingkungan kampus ISI Yogyakarta, bahkan sudah menjadi agenda tetap di tiap tahunnya. Berbeda dengan konser-konser sebelumnya yang menyajikan karya-karya komposer terkenal, HMJ Penciptaan Musik ISI Yogyakarta di bawah naungan Prodi Penciptaan Musik baru saja menggelar konser pertama yang menjadi ajang bagi mahasiswa untuk menunjukkan karya terbaiknya. Konser ini bukan hanya melatih mahasiswa untuk memainkan sebuah repertoar namun juga berproses dalam menemukan ide, menciptakan karya, dan bekerja sama dalam memproduksi karya tersebut.
Konser bertajuk Nirvana: When the Sky Sings yang diadakan di Auditorium Musik ISI Yogyakarta pada hari Kamis, 30 Januari 2025 berlangsung meriah. Penonton disuguhi sepuluh karya original dari komposer-komposer muda berbakat. Sepuluh karya tersebut dimainkan dalam format yang berbeda-beda dan membawa pesan yaang berbeda juga. Sultan Dirga Jatmika, selaku ketua pelaksana konser mengungkapkan bahwa konser ini merupakan wadah untuk menyalurkan kreativitas mahasiswa Prodi Penciptaan Musik sekaligus menjadi motivasi untuk mahasiswa agar terus berkarya dan bersosialisasi.
Konser dibuka dengan karya dari Nabila Ananda bertajuk Sunshine After the Storm. Karya ini dimainkan dalam format ensambel strings, paduan suara, timpani, dan piano. Karya ini terinspirasi dari pemandangan langit sekaligus petrichor sewaktu komposer membuka pintu rumahnya. Dalam karya ini, Nabila menggunakan paduan suara untuk menggambarkan perjalanan menjelajah awan dan merasakan suasana surga. Format ensambel sengaja dipilih karena komposer merasa memerlukan banyak bunyi untuk bisa menyampaikan apa yang ingin disampaikan. Uniknya, konser Nirvana ini merupakan pengalaman pertama Nabila membawakan karyanya sekaligus menjadi seorang kondakter. Meski merasa gugup namun Nabila merasa senang dapat membawakan karya originalnya di depan penonton.
Penampilan kedua yang tidak kalah manis berjudul Kotabaru karya Revolt Belabuana. Berbeda dari penampilan sebelumnya, pada karya ini komposer tidak hanya memperdengarkan musiknya namun juga menghadirkan sebuah puisi yang dibacakan bersamaan dengan alunan musik. Karya ini berawal dari obrolan komposer dengan seseorang yang istimewa. Kala itu Kotabaru menjadi saksi pertemuan manis antara komposer dan perempuan kesayangannya. Selepas pertemuan tersebut komposer membuat karya ini dan memberinya judul Kotabaru. Revolt menjelaskan bahwa dalam penciptaan karya ini, puisi lebih dulu dibuat sehingga musik memiliki fungsi sebagai pengiring pembacaan puisi. Dalam proses persiapan konser, Revolt sempat mengalami kendala yakni menyatukan interpretasi para pemain. Namun uniknya kendala ini justru memotivasi Revolt untuk mencoba menjadi kondakter. Karya Kotabaru yang sangat manis ini dimainkan dalam format ensambel strings quintet, tiup, dan juga piano.
Karya selanjutnya memiliki keunikan tersendiri karena menggunakan format paduan suara SATB acapella yang berarti tanpa iringan musik apapun. Karya berjudul For God So Love the World ciptaan Raden Shafa berhasil memukau penonton. Karya ini memiliki lirik yang diambil dari Injil Yohanes 3: 16. Shafa memilih format paduan suara untuk menggambarkan surga dalam pikirannya. Apabila dibandingkan dengan karya lainnya, karya Shafa relatif lebih pendek namun bukan tanpa alasan. Shafa membuat karya ini juga sebagai meditasi bagi dirinya. Melalui obrolan dengan Tim Fisella, Shafa menjelaskan bahwa selain berkarya Shafa juga memanfaatkan persiapan konser ini untuk belajar melatih orang lain. Mahasiswa mayor piano pop jazz ini sengaja memilih format paduan suara karena pernah bergabung dengan tim paduan suara semasa sekolah dulu. Selama enam kali latihan, Shafa sempat menemui kendala karena karyanya dinyanyikan secara acapella sehingga ia harus memastikan penyanyi menyanyikan nada dengan tepat. Dalam membuat karya ini, Shafa menggunakan referensi dari komposer Knut Nystedt dan Johannes Brahms.
Konser Nirvana: When the Sky Sings bukan hanya diisi oleh karya-karya format besar namun juga format kecil. Arrietty karya Ikrom El Qudsy merupakan salah satu karya dengan format kecil yakni gitar dan violin. Karya ini terinspirasi dari salah satu film Ghibli dengan judul yang sama yakni Arrietty. Arrietty mengisahkan tentang manusia kecil yang tinggal di rumah manusia normal. Selama hidupnya, Arriety diminta menjauh dari manusia namun rasa ingin tahunya justru membawa Arriety berpetualang. Melalui karya ini, Ikrom ingin menyampaikan pada penonton untuk menemukan Arriety di diri masing-masing. Ikrom percaya bahwa ada manusia kecil di setiap diri manusia. Manusia kecil inilah yang menuntun menuju petualangan besar hanya saja manusia kecil ini perlu ditemukan. Ikrom menggunakan instrumen violin untuk memainkan melodi utama dan gitar sebagai pengiringnya. Karya manis ini dibuat dalam waktu yang cukup singkat yakni tiga hari dan melalui proses latihan selama tiga hari juga.
Karya lainnya dengan format kecil adalah Tarian Dua Cendrawasih oleh Ari Setiamarta Irawan. Karya ini terinspirasi dari tarian burung cendrawasih ketika berusaha memikat lawan jenis. Ari menjelaskan bahwa karya ini sebenarnya ia ciptakan untuk solo piano namun pada konser Nirvana: When the Sky Sings, ia mengubahnya menjadi duo gitar. Karya ini dimainkan oleh Ikrom dan Nita, keduanya mahasiswa ISI Yogyakarta. Dalam proses latihannya, Ari menyerahkan interpretasi sepenuhnya pada pemain.
Musik dengan genre lain juga ditampilkan dalam konser ini. Misalnya Narmoris karya Nicholas Evan dan Angelo Pratama. Narmoris sendiri memiliki arti the shining surface of the ocean. Karya ini berbeda karena merupakan satu-satunya yang menggunakan sequencer untuk interlude, terdapat pergantian sukat, dan pemilihan akornya menggunakan akor-akor ekstensi. Karya ini terinspirasi dari air hujan yang digambarkan melalui bunyi piano namun dalam penampilannya melodi utama dimainkan oleh saxophone, flute, dan violin. Karya ini dimainkan dalam format combo band.
Satu lagi karya yang sangat menarik yaitu Melintas Semesta dari Minorways. Minorways merupakan sebuah band yang telah merilis beberapa karya. Band ini menamai dirinya sebagai Minorways yang berarti jalan yang tidak banyak dipilih orang. Salah satu personil band ini menjelaskan bahwa di lingkungan kampus mahasiswa memiliki kecenderungan untuk memilih pop jazz atau klasik sedangkan Minorways ingin sesuatu yang berbeda. Lagu Melintas Semesta menceritakan bagaiamana seseorang menjalani hubungan, tentang harapan dan ketakutan akan ditinggalkan kekasih, yang kemudian dituliskan dengan diksi yang puitis. Band ini terdiri dari empat instrumen yakni drum, bass, gitar, dan vokal. Namun pada konser Nirvana, terdapat satu pemain gitar tambahan. Karena tampil dengan format yang berbeda, Minorways menjelaskan bahwa proses latihan menjadi sedikit lebih rumit ditambah faktor kurangnya kedekatan emosional di panggung.
Secara keseluruhan konser Nirvana: When the Sky Sings berlangsung dengan sangat baik. Banyak karya-karya kreatif ditampilkan dan tentu saja diapresiasi oleh penonton. Namun seperti semua hal di dunia ini yang memiliki sisi positif dan negatif, konser Niravana pun tak luput dari beberapa hal yang perlu diperbaiki terutama kendala pada sound. Pada penampilan duo gitar misalnya. Gitar yang digunakan merupakan gitar klasik sehingga perlu penempatan mikrofon dengan tepat namun hal ini nampaknya kurang diperhatikan sehingga kru harus memperbaiki posisi mikrofon di tengah penampilan yang tentu saja cukup mengganggu. Hal yang sama terjadi pada penampilan Minorways dimana hanya drum saja yang berbunyi. Hal ini membuat Minorways harus mengulang permainannya. Peristiwa semacam ini tentu akan berpengaruh pada mood pemain maupun penonton sehingga sebisa mungkin harus dihindari. Selain itu, panita juga tidak menyediakan booklet atau program sehingga penonton tidak dapat mengetahui deskripsi dari masing-masing karya. Alternatif yang dapat dilakukan selain menyediakan booklet adalah dengan memberikan waktu bagi komposer untuk menjelaskan karyanya sebelum dimainkan sehingga penonton dapat mengetahui ide dasar karya yang dimainkan, latar belakang, dan apa yang ingin disampaikan komposer melalui karyanya.
Terlepas dari itu semua, konser pertama dari HMJ Penciptaan Musik ISI Yogyakarta ini patut diapresiasi. Konser yang merupakan program kerja HMJ ini telah menjadi wadah bagi mahasiswa untuk berkarya dan melatih kepercayaan diri untuk menampilkan karyanya. Akan sangat baik apabila konser semacam ini diadakan secara rutin tentu, dengan perbaikan di bagian yang diperlukan agar mahasiswa tetap produktif dan berproses secara aktif.